Selasa, 12 November 2013

Tuhan, Mengapa Seperti Ini

11 Agustus 1990

            “Dokter, tolong selamatkan istri dan bayiku.”
            “Tenang, Pak! Kami akan berusaha semaksimal mungkin. Bapak berdoa saja.”
            Waktu itu, hari kelahiran sang bayi mungil nan jelita. Hari pertama ia menatap keindahan dunia dan kehangatan sapaan mentari pagi. Tangisan kecilnya menggembirakan hati semua orang. Tingkah lucunya mengundang gelak tawa yang tiada henti. Lesung pipi merahnya menambah keelokan paras wajah yang ia miliki. Sungguh, hari yang penuh suka cita akan kehadirannya di dunia ini. Ia bernama Eliza.
~*~     
11 Agustus 1999
Detik demi detik bergulir begitu saja. Eliza kecil tumbuh menjadi Eliza berusia sembilan tahun. Baik hati dan sikap sopan adalah kepribadian yang melekat pada diri  Eliza. Ya, ia dididik dengan baik oleh kedua orang tua yang sangat mencintai dan menyayanginya. Selain kepribadiannya yang menarik, ia juga memiliki kebiasaan yang unik. Ia senang menerawang untuk menebak bentuk awan yang ia lihat bersama ayahnya. Bagi Eliza, kedua orang tuanya adalah kado teristimewa yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.
            Setiap hari Eliza selalu memanjakan waktunya untuk belajar. Ia duduk di bangku kelas tiga SDN 1 Pelita. Eliza tak pernah bolos sekolah. Jangankan bolos, absen sekalipun tak pernah. Jadi, tak heran jika ia dijuluki anak terajin di sekolahnya. Eliza juga jago dalam berhitung, menghafal, dan menggambar. Sering kali ia menjuarai berbagai kompetisi. Guru-guru dan teman-teman sangat mengagumi kehebatan yang ia miliki. Akan tetapi, itu tidak menjadikan Eliza berbangga akan dirinya. Pernah ketika Eliza disanjung oleh seorang gurunya hingga ia menganggap dirinyalah yang paling hebat sehingga ia tak berkawan dengan teman yang ia  anggap tak terlalu pandai dari dirinya. Ayahnya mengetahui perilaku buruk putri kecilnya. Namun, ayahnya tak marah padanya malahan ia tersenyum pada putri kecilnya itu.
            “ Peri kecil ayah, bagaimana sekolahmu?”
            “ Baik, Yah.”
            “ Bagaimana teman-temanmu?”
            “ Mereka semua baik kok, Yah.”
            “ Benarkah? Kalu begitu, peri kecil ayah juga sama baiknya dengan mereka? Kau tahu bagaiman bebuat baik dengan teman? Tidak mendiskriminasikan teman, tetap bergaul dengan siapa saja, dan tak boleh angkuh. Kau telah melakukannya? Jadilah anak yang baik.”
            Sejak saat itu pula Eliza mulai mengubah perilaku buruknya. Ia menaati semua pinta ayahnya. Teman-teman pun mulai menyukai dirinya yang ramah. Dengan itu, ia merasa lebih baik. Apabila ada guru memujinya dan hatinya mulai menari-nari kian kemari di balik awan, ia selalu mengingat akan pesan dari ayahnya. Sekarang tak ada lagi Eliza yang dibenci, yang ada hanya Eliza yang disayang. Begitulah, secuplik kisah Eliza dari banyaknya kisah yang ia alami dalam hidupnya.
                                                                        ~*~
11 Agustus 2001
            Tepat diusianya yang ke 11 tahun. Ulang tahun Eliza kali ini sangat berbeda dari biasanya. Suasana meriah yang selalu menghiasi tiap kali hari ulang tahunnya, kini telah menjadi sebatas angan-angan. Hanya ada kesepian di sepanjang tepi hingga muara. Kue ulang tahun sebagai lambang bertambahnya usia pun tak akan ada lagi. Senyum manis yang tertoreh dari ayah, bunda tercinta dan sahabat-sahabatnya kini hanya tersisa dalam ingatan masa lalu yang akan terkubur dalam memori kecilnya. Tak ada lagi perayaan, tak ada lagi kue ulang tahun, tak ada lagi senyuman, tak ada lagi canda, tak ada lagi tawa, dan tak ada lagi ucapan, “Selamat ulang tahun.”
            “ Bunda, bersabarlah sebentar! Allah sedang menguji kita.”
            “ Apa? Sabar? Sampai kapan, Yah? Sampai kapan ujian ini akan selesai? Bunda sudah tak tahan lagi, bunda ingin kehidupan kita dulu kembali.”
            Memang semenjak ayah Eliza di PHK dari tempat dimana ayahnya bekerja dan toko konveksi milik bunda ludes ditelan jago merah, mereka selalu bertengkar. Pertengkaran dengan suara keras yang tiada batas. Telah menjadi makanan pokok Eliza tiap hari. Kepolosannya tak dapat mencerna pertengkaran hebat kedua orang tuanya. Kecerdasannya baru sebatas menyadari dan memahami bahwa kedua orang tuanya  sedang berbicara dengan suara yang memecahkan gendang telinganya, melengking. Kerap kali kedatangan Eliza di tengah-tengah pertengkaran kedua orang tuanya menjadi peredam amarah di antara keduanya.
                                                                        ~*~
21 Desember 2003
            “ Ayah, bunda ada di mana?”
“ Bunda sedang berkunjung ke rumah saudara, Nak!”
Ketika matahari tak dapat memancarkan sinarnya. Ketika kegelapan menyelimuti kerak bumi. Di saat semua manusia terlelap. Bunda Eliza pergi meninggalkan Ayah dan Eliza. Ia tak tahan akan keadaannya yang sengsara. Ia ingin merantau di luar sana. Mencari kesenangan yang sempat hilang dari genggamannya. Kurang lebih dua tahun bunda Eliza telah pergi tanpa mengirimkan sepucuk surat kabar tentang dirinya. Ayah khawatir  akan keadaan bunda yang telah lama pergi tanpa seizin darinya. Ia pun tak tahu ke mana bunda pergi. Ayah hanya berdoa kepada Dzat Yang Maha Sempurna untuk keselamatan bunda dan berharap bunda akan kembali ke sisinya. Itulah yang hanya dapat ia lakukan.
~*~
11 Agustus 2005
            “ Happy Birthday, Sayang.”
            “ Terima kasih, Ayah. Emm.., apakah bunda akan pulang hari ini?”
            Kali ini ayah tak menjawab pertanyaan Eliza seperti yang ayah jawab tiap kali pertanyaan yang sama dilontarkan Eliza. Tiba-tiba pelukan hangat mencekram tubuh gadis mungil itu.
            “Ayah, mengapa bunda tak pernah pulang? Apakah Eliza nakal? Apakah bunda tak sayang lagi sama ayah dan Eliza?”
            Mendengar celotehan polos Eliza, seketika tetesan air jatuh dari kedua mata ayah membasahi pipi merah Eliza. Ayah teringat akan kabar burung yang menghampiri dirinya. Kabar itu sangat menghancurkan harapan dan impiannya.
            “ Ayah, mengapa ayah menangis?”
            “ Tak apa, Sayang. Sekarang tidurlah! Sudah larut malam.”
~*~
             “ Ayah, itu seperti Gajah.”
            “ Kalau yang itu seperti Pulau Jawa.”
            “ Awan itu.., seperti bunda. Ayah, benarkah bunda pergi dan tak kembali lagi pada kita?
            “ Bunda pasti kembali, Nak.”
             Sekarang pemikiran Eliza mulai mampu menjangkau tentang kondisi yang terjadi terhadap keluarganya. Ia mulai mengerti akan sebab mengapa kekacauan itu terjadi. Eliza pun tahu kerap kali ayahnya tak pernah berkata jujur saat Eliza bertanya tentang bunda. Ayah selalu menutupi apa yang terjadi. Meskipun begitu, Eliza tak pernah marah pada ayah karena semua kebohongan yang ayah lakukan itu agar Eliza tak bersedih dan tetap menyayangi ayah, terutama bunda. Akan tetapi, Eliza tak mengerti mengapa bunda pergi tinggalkan Ayah dan Eliza.
            “ Bunda, kau ada di mana? Suami dan anakmu mencarimu. Tiadakah kau rindu pada kami? Rindu dengan rumah kita? Bunda, kami selalu menanti kehadiran bunda. Cepat pulang, Bunda!”
            Di sepertiga malam, dalam kesendirian, di tengah kesunyian. Di situlah keheningan malam, waktu yang paling tepat untuk mengadu kepada sang Khalik, Pencipta semesta. Deretan doa ayah ajukan kepada-Nya hanya untuk satu harapan.
            “ Tuhan, mengapa seperti ini? Keluarga kecilku yang damai dulu kini berada di ambang kehancuran. Ya Rabb, benarkah istriku meninggalkanku karena keterbatasan kemampuanku dalam membahagiakannya? Jika itu kebenarannya, maafkanlah aku. Ya Allah, jika di sana ia mendapatkan kebahagiaan yang tak ia dapatkan dari diri ini, aku akan ikhlas. Namun, kembalikan ia ke sisiku jika ia tak bahagia. Izinkanlah aku untuk berusaha membahagiakannya sekali lagi.”
~*~
            Sang surya mulai menampakkan kehebatannya menerangi jagad raya. Ayam-ayam jago beradu dengan kokokkannya yang unik, burung-burung bernyanyi merdu di atas ranting, dan kupu-kupu menari-nari gembira kian kemari. Alangkah damai suasana di pagi hari. Namun, tiba-tiba suasana berubah mencekam. Eliza datang tergesa-gesa menghampiri ayahnya.
            “ Ayah, benarkah kabar burung itu?”
            “ Kau kenapa, Nak? Kabar burung apa?”
            “ Kabar kalau bunda menikah lagi?”
            “ Em.., maafkan ayah, bunda memang telah menikah lagi dengan seorang pria yang dapat membahagiakannya, bukan seperti ayah. Maafkan ayah...”
            Seketika pandangan Eliza kabur, tubuhnya lunglai, langkahnya gontai, hatinya berontak, jiwanya berantakan. Ia terkejut akan kabar yang baru saja datang itu.
            “ Bunda, empat tahun sudah kau pergi, tak heran jika kau melupakan kami. Teruskanlah! Teruskan saja kau begitu, tak usah kau kembali lagi. Bunda, kau wanita terjahat yang pernah kutemui. Aku  benci bunda!!! Aku berjanji, tak akan memanggilmu dengan sebutan bunda, terlalu terhormat bagimu!”
            Sejak kejadian itu, Eliza menjadi pendiam dan nakal. Ia tak pernah bergaul dengan kawan-kawannya lagi hingga usianya kini mencapai 17 tahun. Ia sering bolos dari sekolah dan ia juga telah meninggalkan kebiasaan uniknya. Memang, kabar itu menghancurkan hatinya bahkan mengguncang jiwanya. Meskipun begitu, ia sangat menyayangi ayahnya, tetapi tak jarang Eliza tak patuh pada ayahnya. Keadaan seperti ini membuat ayah semakin khawatir akan anaknya. ia selalu berusaha menghibur gadis kecilnya yang telah dewasa. Alhasil, nol. Setiap kali ayah mencoba menghibur Eliza, Eliza selalu menjauh darinya. Sepertinya, tersimpan rasa kecewa yang mendalam dalam hatinya dan amarah yang merasuk dalam jiwanya.
                                                                        ~*~
            Di waktu siang menjelang sore, sesosok wanita yang tak asing baginya datang mendekatinya. Mata Eliza meloncat, kaki bergetar, jantung berdetak kencang saat ia mengetahui sosok wanita itu ialah Bunda. Setelah menyadarinya, Eliza segera melangkahkan kaki untuk menjauh dari wanita itu. Akan tetapi, ia terlambat.
            “ Eliza,...”
            “ Mm.., Anda siapa?”
            “ Kau tak ingat pada Bunda? Kau Eliza, bukan?
            “ Mungkin Anda salah orang.”
            “ Tidak, bunda tak mungkin salah. Kau Eliza, anakku?”
            “ Kau bukan bundaku, bundaku telah meninggal sembilan tahun lalu sejak ia pergi dari rumah.”
            Dalam setiap langkahnya yang kaku menghadapi kenyataan yang terjadi, ia pergi meninggalkan bundanya yang terdiam dalam deraian air mata. Eliza telah bertekad untuk tak mengakui bundanya. Meskipun, berat untuk dilakukan. Ia tetap harus melakukannya.
            “ Tuhan, mengapa seperti ini? Di saat aku berharap ia kembali, ia tak kunjung datang. Di saat aku berharap ia tak kembali, ia muncul. Apa yang harus kulakukan, Tuhan?”
            Pagi hari berikutnya, sosok wanita itu muncul tepat di depan rumah Eliza. Ayah terkejut melihat sosok wanita kurus itu. Sesosok wanita yang sangat ia kenal sebelumnya.
            “ Bunda, Kau kah itu?”
            “ Kau bukan bunda. Sudah aku katakan, bundaku telah meninggal. Mengapa Anda kemari?”
            “ Maafkan bunda. Bunda bersalah telah meninggalkan kalian. Bunda menyesal.”
            “ Menyesal? Bukankah sekarang Anda bahagia bersama pria yang lebih hebat, lebih  kaya dibanding ayah?”
            “ Maafkan bunda, bunda memang sangat naif dan serakah. Kini, suamiku ada di dalam bui. Ia koruptor. Maafkan bunda, bunda memang tak pantas menjadi orang tuamu.”
            “ Syukurlah, jika Anda paham. Sekarang, pergilah!”

Wuishhhh...BRUK!!!
Spontan perhatian Ayah dan Eliza menuju jalan raya. Mata mereka menembus jendela. Seorang wanita kurus tertabrak mobil pukul 07.11 WIB.
“ Tuhan, mengapa seperti ini?”
~selesai~

Selasa, 27 Agustus 2013

Cintaku Bersemi Kembali

            Pagi yang cerah. Aku bergegas ke sekolah dengan mengayuh sepeda biruku. Aku duduk di bangku kelas IX SMP N 4 Kebumen. Seperti hari-hari sebelumnya, aku lewatkan hari-hari gembiraku bersama teman-teman dan keluarga. Selain parasku yang cantik nan elok, aku juga terkenal sebagai sang juara kelas. Di dalam benakku, aku bangga pada diriku sendiri.
“Sungguh, akulah orang yang paling bahagia di dunia ini”.
            Namun, kebahagiaan itu lenyap seketika aku mengidap suatu penyakit aneh. Tak ada satu pun dokter yang mampu menyembuhkanku. Kali ini orang tuaku mendatangkan seorang kakek yang dikenal di desa tempat aku tinggal sebagai kyai sekaligus orang pintar. Kakek itu perlahan-lahan memperhatikan aku dan kemudian mengusapkan cairan berbau sangat harum ke leherku.
“Nak, apa yang kamu inginkan?”
Aku hanya terdiam, mengabaikan pertanyaan kakek tua itu. Memang, aku sering melamun dan lebih suka menyendiri sejak menderita penyakit itu.
“Nak, apapun yang kamu inginkan pasti dapat tercapai melalui usaha. Akan tetapi, jangan bermimpi terlalu tinggi yang melebihi batas kemampuanmu karena dapat merusak iman yang telah kamu bangun selama ini”.
Kakek kembali berbicara, tetapi tanpa sadar aku tetap mematung tanpa bergerak sedikit pun. Ayah menyuruhku untuk masuk ke kamar. Di ruang tamu, aku melihat kakek tua itu berbicara kepada kedua orang tuaku. Entah apa yang kakek itu bicarakan, tetapi ibuku menangis karenanya. Sebenarnya, aku pun bertanya-tanya pada diriku sendiri. “Penyakit apa yang sebenarnya ada di dalam tubuhku ini? Kenapa aku selalu dihantui rasa takut dan rasa bimbang? Sampai kapan aku harus menghabiskan hari-hariku dengan deraian air mata? Tuhan, tolonglah aku...!”
            Pada keesokan harinya sangat berbeda dengan hari-hariku sebelumnya. Semua terlihat pucat, layu, dan tak berseri. Beginilah hari-hari yang aku jalani semenjak sakit. Teman-teman dan guru-guruku telah mengetahui aku sedang sakit, tetapi mereka tidak memasang muka kasihan kepadaku. Sebaliknya, mereka menghiburku dengan memberikan senyum terhangat mereka. Entah setan apa yang ada pada diriku, aku tak pernah berbicara sepatah kata pun, bahkan aku tak pernah membalas senyum hangat mereka.
Suatu ketika, salah satu guruku datang menghampiri keberadaanku. “Ass.....Assalammu’alaikum, Nak....Bapak boleh tanya? Nak, kenapa kamu semakin hari semakin kurus dan badanmu semakin kering? Apa kamu kurang makan atau kurang vitamin? Sayang, kamu ada masalah? Katakan sama Bapak, mungkin Bapak bisa bantu?
Ya sudah Nak, kalau kamu butuh teman untuk bercerita, ceritakanlah pada Bapak. Jangan sungkan-sungkan ya, Nak?”
Seperti biasanya, tak ada satu jawaban pun yang keluar dari mulutku. Setiap orang yang bertanya kepadaku pastilah menuai kehampaan dan kekecewaan.
                                               
            Hari demi hari berlalu seiring dengan semakin menjadinya kegilaanku. Aku mulai tak dapat mengontrol diriku sendiri. Aku sangat mudah marah dan emosional. Semua kyai dan paranormal telah didatangkan untuk mengobatiku, tetapi hasilnya tetap nol, bahkan aku semakin terpuruk dalam penyakitku itu. Orang-orang yang berada di sekitarku menganggap aku telah gila. Walau mereka tak mengatakannya langsung padaku, tetapi bisik-bisik mereka terdengar jelas di kedua telingaku dan kedua orang tuaku. Jiwaku semakin berguncang, hatiku semakin memberontak. Ibuku pun menangis ketika mendengar caci makian dari tetangga-tetanggaku. Akan tetapi, ibuku selalu membelaku meski dengan deraian air matanya.
            Saat itu pula, kegilaanku memuncak. Aku lepas kendali, semua yang aku lakukan di bawah kesadaranku. Aku teriak sekeras-kerasnya! Aku banting semua benda yang ada di sekitarku, dan mataku memerah. Aku bagaikan singa liar kesurupan. Meskipun begitu, aku tetap meneteskan air mata yang tak bisa kutahan lagi.
“Nak..., berhenti...!!! Berhenti, Nak...!!! Ibu mohon, berhentilah, Nak? Istighfar...!!! Kembalilah pada-Nya...!!! Ingatlah Allah...!!!”
Seketika itu, aku terdiam dengan air mata yang terus berjatuhan dari kelopak mataku. Tak lama kemudian, aku berlari menuju kamarku dan kemudian disusul kedua orang tuaku. Akan tetapi, aku  mengusir mereka dari kamarku.
“Pergi...!!! Pergi...!!! Aku tak ingin melihat kalian berdua. Aku ingin sendiri...!!! Pergi...!!!”
Mereka keluar dari kamarku masih dengan uraian air mata. Tanpa peduli, aku tutup pintu kamarku sekeras-kerasnya.
“Braakkkk....!!!”
Setelah satu jam aku menangis di kamar, emosiku kembali meningkat. Di luar kesadaranku, aku kembali berteriak.
“Persetan kalian...!!! Kenapa kalian menggangguku? Kenapa kalian dengan mudahnya hancurkan kehidupanku? Apa yang kalian inginkan dariku? Apa? Katakan...!!!”
            Ayah dan ibu segera mendobrak pintu kamarku dan berusaha mendekapku. Aku berusaha menolak dekapan mereka, tetapi raga ini tak kuasa menolak kehangatan yang telah lama tak kurasakan.
“Ibu, aku gak gila.....! Aku gak gila, Yah...!”
“Iya, Nak. Kamu gak gila kok, kamu hanya sakit dan sebentar lagi kamu pasti akan sembuh. Bersabarlah, Nak!”.
Ayah dengan ucapannya yang lembut menenangkanku. Akupun merasa tenang berada di antara mereka. Api yang membara di hatiku padam seketika itu juga.

            Suatu hari, datanglah seorang lelaki paruh baya ke rumahku sewaktu aku sedang berada di pangkuan ibuku. Lelaki yang tak dikenal itu berusaha untuk memasuki rumahku dan menemui ayahku.
“Assalammu’alaikum...”
“Wa’alaikumsalam warahmatullahhh...”
“Saya Imron, Pak. Saya dari desa sebelah. Saya dengar putri Bapak sedang sakit. Apa benar, Pak?”
“Iya, benar”.
“Boleh saya melihat putri Bapak?”
“Tentu, silakan masuk....!”
“Terima kasih”.
            Ayah memanggilku untuk menemui tamu yang tak diundang itu. Dengan langkah gontai aku menemuinya. Akan tetapi lelaki paruh baya itu tak memandangku, malah dia memejamkan matanya dan ia seperti merasakan energi yang sangat kuat datang mendekatinya. Ayahku pun bingung pada sikap lelaki itu.
“Anda tidak apa-apa, Tuan?
“Ohh..., tidak apa-apa. Maafkan sikap saya”.
“Syukurlah kalau begitu. Kalau boleh tahu, apa tujuan Anda datang kemari?”
“Maaf, Pak. Tujuan saya datang kemari karena seruan dari Allah SWT. Saya sebagai perantara ingin mencoba untuk mengembalikan putri Bapak kembali sehat seperti kondisi semula”.
“Subhannallohh...., Terima kasih, mohon bantuan Anda!”
            Allah telah mendengar doa kedua orang tuaku dan Dia telah mengirimkanku seseorang yang dapat mengobatiku melalui izin-Nya. Selama masa pengobatan, aku berkenalan dengan putri dari lelaki paruh baya itu yang bernama Azizah. Azizah adalah seorang muslimah yang sangat baik hati. Selain wajahnya yang cantik, tutur katanya pun sangat lembut. Dia selalu memakai baju yang panjang dan jilbab yang selalu menutupi dadanya. Kepribadian yang sangat berbeda denganku. Jarang-jarang aku mengenakan jilbab, memakai baju panjang pun dapat dihitung dengan jari tangan kiriku saja. Aku bersyukur mengenalnya. Melalui dirinyalah aku mendapatkan cahaya-Nya kembali. Cahaya yang menerangi kegelapan jiwaku. Aku mulai belajar mengenakan baju panjang dan jilbab yang terurai menutupi dadaku. Aku juga mulai belajar mengaji dengannya. Aku tunaikan segala kewajibanku kepada-Nya. Sungguh, aku merasakan adanya perubahan yang sangat jauh berbeda dari keadaanku sebelumnya. Hidupku lebih berwarna, hari-hariku lebih berarti. Aku temukan cinta yang telah lama aku tinggalkan. Cintaku kepada-Nya tak akan aku lepaskan lagi. Akan tetapi, aku menyesal selama ini aku telah jauh dari-Nya dan telah lama aku melupakan-Nya. Belum lagi, semua sikap dan perkataan kasarku yang aku lontarkan kepada orang tuaku.
“Ya Allah, seberapakah besar dosaku pada-Mu? Dapatkah aku menghapus dosa-dosaku dengan sisa hidupku ini?”
            Hari ke hari kondisiku semakin baik. Sudah seminggu aku meninggalkan sekolahku. Kini aku akan bersekolah kembali. Tanpa aku sadari prestasiku turun drastis sewaktu sakit. Dengan penampilan baruku ini, aku buka lembaran putih hidupku yang baru. Aku kubur dalam-dalam kehidupan suramku bersama semua penderitaanku. Aku awali kehidupan baruku ini dengan bacaan Basmallah, semoga saja kehidupanku akan lebih cerah dengan selalu berada di sisi-Nya. Aamiin.....
“Bismillahirrahmanirrakhim......”


***SELESAI***

Minggu, 28 April 2013

Analisis Unsur Intrinsuk Cerpen


Kelompok 3
1.       Desvita Arifiasti Utami              (09)/XI IPA 4
2.       Hesti Kusumastuty                    (10)/XI IPA 4
3.       Irma Listia Sarini                       (11)/XI IPA 4
4.       Khanifatur Rochmah                 (12)/XI IPA 4

Analisis unsur Intrinsik cerpen
Judul cerpen            : Tinggul
Penulis/pengarang   : Trisnojuwono
Sumber                   : Cerpen “Tinggul” dalam kumpulan cerpen laki-laki dan mesiu karya                                                    Trisnojuwono, 1956
Halaman                 : 202-215

1.       Tema
Tema cerpen yang berjudul Tinggul yaitu ketidakadilan penguasa
2.       Penokohan dan perwatakan
Tokoh utama                 : 
-        Sersan Mayor
-        Tinggul (Si Gemuk)
Tokoh sampingan          :
-        Kapten Komandan Kompi
-        Istri Tinggul
-        Sersan Johari
-        Prajurit
-        Bintara/ Perwiara
-        Tahanan
-        Anggota Peleton
-        Komandan Peleton
-        Gerombolan
-        Pak Camat Daerah B
Table Tokoh dan Perwatakan
No.
Tokoh
Watak
Bukti Pendukung
1.
Sersan Mayor
a.       Pekerja keras
Paragraph 13: dengan Sersan Johari aku mulai bekerja. Kami bekerja keras.
b.       Iba, baik hati, peduli dan sabar
Paragraph 27: tapi aku sungguh tidak setuju dengan penyiksaan-penyiksaan dalam pemeriksaan pada orang-orang yang belum pasti berbuat kesalahan…
2.
Tinggul

a.     Sabar, tenang dan memiliki rasa takut
Paragraph 44: orang itu gemuk, kulitnya hitam halus. kesabaran terbayang pada wajahnya. Tenang ia menghadapiku, meskipun rasa takut tersirat diwajahnya.
b.       Berani mengungkapkan yang sebenarnya
Paragraph 58: ia berani menceritakannya karena ia tahu di desanya tidak lagi ada gangguan gerombolan
c.       Baik  dan rajin
Paragraph 60: hingga akhirnya tidak ada lagi kecurigaanku apalagi setelah ia menunjukan kesukaannya membantu pekerjaanku. Bahkan sekali-kali ia kusuruh memeriksa tahanan . pendeknya ia tahanan lagi. Ia pembantuku yang baik dan rajin.


d.       Baik, tahu diri, penyayang dan jujur
Paragaraf 48 : melihat air mukanya dan caranya berbicara, aku yakin bahwa ia orang yang baik, seorang petani yang tahu pekerjaanya, yang sayang pada istrinya.
e.       Dapat dipercaya
Paragraf 52: Ia memang bisa dipercaya, ia betul-betul jujur dan sama sekali bukan pengacau. Bukan mata-mata gerombolan yang bisa berpura-pura baik, tapi sesungguhnya ia memang seorang manusia yang baik.
3.
Kapten Komandan Kompi
a.       Ramah suka tertawa suka memukul
PAragraf 2: ia ramah banyak tertawa tapi jangan didekati kalau sedang marah tangannnya mudah melayang ke tangan orang, tentu saja bawahannya yang kumaksudkan.
b.       Keras, disiplin, kejam dan sewenang-wenang
Paragaraf 22: Kapten Komandan Kompi memang hanya tampaknya lemah lembut ia lebih keras dari dari baja berdisiplin dalam menjalankan tuganya , tapi tampa hati sedikit pun.
Pargraf 23: ia bukan hanya disiplin lagi tapi keras dan kejam, sesukanya menggunakan kekuasaan.
c.       Memutuskan sepihak
Paragraph 56: tiap kuusulkan agar dibawa ke CPM, Kapten selalu menolak
4.
Sersan Johari
a.       Pandai berbicara dan berdaptasi
Paragraph 10: pandai berbicara dan cepat menyesuaikan diri seperti ternyata dengan pertemuan pertamanya denganku yang hanya sebentar.
b.       Disikusai banyak orang
Paragraph 11: Dan macam dia di daerah itu memang disukai orang.

c.       Pekerja keras
Paragraf 12 : Dengan Sersan Johari aku mulai bekerkja. Kami bekerja keras
d.       Sabar
Paragraf 27 : …. Memeriksa tahanan dengan sabar dan sesuai dengan peraturan…

e.       Santai dan acuh tak acuh.
Paragraf 37 : Sersan J ohari bersiul-siul saja seperti tidak tahu bahwa segan dengan tahanan itu pekerjaan kami berdua….
Paragraf 41 : Sersan Johari tampaknya enak saja mengikuti pemeriksaan komandan peleton itu, sepeti tak terganggu perasaannya.
5
Bintara/Perwira
a.       Kejam
Paragraf 26 : … mereka kejam dan seenaknya memperlakukan tahanan.
6
Tahanan
Tolol dan bodoh
Paragraf 28 : … para tahanan itu kebanyakan hanya orang-orang tolol dan bernasib buruk
7
Anggota Peleton
Pemberani
Paragraf 32 : Peleton yang kuikuti segera mengadakan gerakan mengepung. Kulihat anggota peleton itu rata-rata pemberani.
8
Prajurit
a.       Pendendam


b.       Pembenci
Paragraf 36 : Kematian seorang prajurit sudah cukup untuk membuat yang lain dipenuhi dendam dan kebencian
Paragraf 38 : Para penjaga pekerja dengan kebencian yang sudah memuncak
9
Komandan Peleton
a.       Kejam




b.       Bodoh, bengis, dan sewenang-wenang
Paragraf 40 :  lima orang yang pertama sial, sebab Komandan Peleton yang memimpin penyerbuan turut memeriksa. Pukul, tendang, dan ludahi tidak ada yang berani mengingkari tuduhan….
Paragraf 91 : Komandan telah memerintahkan kepada komandan peleton yang terkenal paling haus darah seorang Opsir goblok yang mungkin hanya bisa dihargai, karena perbuatannya yang kejam dan bengis
10
Gerombolan
Kejam dan sewenang-wenang
Paraqgraf 46 :  Gerombolan memang sering sangat kejam dan sewenang-wenang jika membutuhkan sesuatu
11
Istri Tinggul
a.       Perhatian dan Peduli

b.       Taat
Paragraf 53 : … datang istrinya menjenguk. Mengharukan pertemuan itu. Istrinya menangis.
Paragraf 62: … atas nasihat si gemuk tidak datang lagi
12
Pak Camat Daerah B
Mudah putus asa
Paragraf  68 : Pak Camat Kebingungan. Katanya ia putus asa dan akan segera minta pindah ke daerah yang aman


3.       Alur
Alur cerpen yang berjudul Tinggul yaitu campuran. Diawali dengan alur maju.
a.       Perkenalan tokoh. Sersan mayor adalah orang yang bertugas mewakili komandannya untuk menyelidiki tahanan yang kebayakan gerombolan. Ia hanya dibantu oleh seorang sersan yaitu sersan johari
Saat itu, daerah Sersan Mayor bekerja sedang tidak aman, karena banyak gerombolan yang membuat kerusuhan.
b.       Konflik batin
Muncul saat Sersan Mayor tidak jika para tahanan diselidiki dengan cara sewenang-wenangnya, misalnya dengan cara dipukul hingga banyak menimbulkan korban.
c.       Konflik
Konflik pada cerpen ini adalah pada saat Sersan Mayor di ajak untuk melakukan operasi. Ketika salah satu dari seorang pasukannya tertembak mati. Sedangkan pasukan gerombolan yang mati sebanyak 8 orang dengan beberapa orang lainnya luka-luka. Hal ini memnyababkan dendam bagi gerombolan kepada pasukan tentara.
Pasukan yang tertangkap dalam insiden tersebut sebanyak 18 orang.  Pada saat itulah saatnya sersan Mayor bekerja. Sersan Mayor bekerja untuk memeriksa para gerombolan yang tertangkap. Saat pemeriksaan, jarang sekali ditemukan orang-orang yang berkata jujur, tetapi ada juga satu orang yang berkata jujur, ialah Tinggul. Tinggul mempunyai watak yang jujur, baik dan dapat dipercaya. Tinggul hanya rakyat biaya yang terjebak dalam insiden di daerah C.
d.       Klimaks
Sersan Mayor dan Sersan Johari ke suatu daerah untuk menyelidiki suatu masalah, secara sepihak Kapten Komandan Kompi memutuskan untuk memberi hukuman mati pada tahanan gerombolan termasuk si Tinggul. Saat Sersan Mayor datang, ternyata si Tinggul telah tegeletak setengah tertekuk tanpa nyawa.
e.       Antiklimaks
Disajikan dalam alur mudur, ketika seorang prajurui mengsih tahu sersan mayor bahwa sebelum tinggul meninggal sempat meyebutkan namanya dan ingin sekali bertemu dengannya.
f.        Penyelesaian
Tidak diceritakan oleh pengarang

4.       Latar
a.       Latar tempat
-          Tangsi
Bukti    :
                                                         Ø         Ia sedih lama bertugas di daerah itu, sejak tangsi masih ditempati batalion.
                                                         Ø         Kota itu tidak begitu besar dan  asri itu jauhnya hampir 50 km. Akan tetapi, kami tidak pernah menyesal jika senja hari minggu kembali ke tangsi.
-          Kota
Bukti    :
                                                         Ø         Kota selalu menyenangkan bagi orang yang bertugas di daerah sepi.
-          Desa C
Bukti    :
                                                         Ø         Desa C yang dilingkari hutan, jauh letaknya. Jarang didatangi patroli, sebab sulit memasukinya.
                                                         Ø         Baru saja kami menginjak kaki di daerah C, sudah disambut tembakan otomatis.
-          Desa M
Bukti    :
                                                         Ø         Waktu Tinggul ditangkap, istrinya sedang berbelanja ke desa M.
-          CPM
Bukti    :
                                                         Ø         Aku bisa mempertanggungjawab apa yang akan kuperbuat pada komandan. Bagian 1 Resimen di Batalion atau di CPM.
                                                         Ø         Tahanan dikumpulkan dan dibawa ke markas CPM.
-          Kecamatan B
Bukti    :
                                                         Ø         Kami tak takut lagi berdua saja ke kecamatan B.
-          Di S
Bukti    :
                                                         Ø         Mereka sebenarnya diangkut ke S, sebuah desa terpencil yang tidak terpenghuni lagi
b.       Latar waktu
                                                         Ø         Pagi hari
Bukti    :
·         Tiap pagi-pagi pasti sudah hadir pada apel pukul 07.00.
                                                         Ø         Malam hari
Bukti    :
·         Tengah malam sudah selesai sembilan orang.
·         Lewat pukul satu malam, kurasa aku sudah tau semua tentang dia.
c.       Latar suasana
                                                         Ø         Tegang
Bukti    : Baru saja menginjakkankaki di daerah C langsung disambut dengan tembakan otomatis.
                                                         Ø         Tragis
Bukti    : Akan tetapi, sungguh aku tidak setuju dengan penyiksaan pada orang yang belum pasti berbuat salah dengan menggunakan aliran listrik dan pukulan-pukulan yang sampai menyebabkan luka dan berdarahnya orang yang diperiksa.
                                                         Ø         Mengharukan
Bukti    : Pada hari ketiga ditahan, istri Tinggul menjenguk. Ia menangis, tetapi Tinggul tenang-tenang saja.

5.       Sudut Pandang
Sudut pandang cerpen “Tinggul” yaitu orang pertama pelaku sampingan.

6.       Amanat
Amanat yang terkandung dalam cerpen “Tinggul” antara lain sebagai berikut        :
a.       Sebaiknya bermusyawarah sebelum mengambil keputusan.Janganlah mengambil keputusan berdasarkan kekuasaan sehingga dapatmengambil keputusan sepihak.
b.       Buktikan kebenaran suatu  informasi, sebelum mengambil keputusan.
c.       Janganlah menggunakan tindakan kekerasan yang tidak bermoral dalam suatu permasalahan.
d.       Janganlah takut untuk bertindak dalam membela kebenaran.

7.       Nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen
a.       Nilai sosial
-          Adanya kesenjangan sosial antara pejabat dengan tahanan
-          Kerja sama yang baik dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bersama
-          Kesetiaan istri terhadap suaminya(Tinggul)
b.       Nilai moral
-          Kekerasan bukan solusi yang terbaik dalam menyelesaikan masalah.
-          Bertindak sepihak dan sewenang-wenang tanpa memperhatikan kebenarannya.
c.       Nilai budaya
-          Berjudi sudah menjadi hal yang biasa.

8.      Sinopsis
            Sersan Karsim, itulah namaku. Anggota Bagian I Penyelidikan yang bebas dari segala peraturan yang mengikat sebagaimana mestinya pada tentara-tentara yang lain. Bertugas dengan semangat, tanpa lelah dan penuh dengan kesabaran untuk memeriksa gerombolan yang tertangkap di  daerah C dengan sifat yang beranekaragam, seperti bengis, jahat, liar dan sebagainya.  Pemeriksaan yang aku lakukan berjalan dengan lancer, sampai  akhirnya kedatangan Komandan Peleton ynag mengambil alih pemeriksaaan terhadap tahanan gerombolan. Menendang, meludah, dan memukul merupakan hal yang biasa dikukan olehnya.
            Hari itu, aku dan Sersan  Johari memeriksa tawanan dan gerombolan dari daerah C. seseorang dengan tubuh besar, kulit yang hitam, dan wajah yang tersirat rasa takut sangat Nampak dalam dirinya. Dialah Tinggul. Pemuda yang berasal dari daerah B, pernah bekerja di kota , di pelabuhan, kemudian mendapatkan warisan dari mertuanya di daerah C. Dia sangat tenang dalam menjawab pertanyaan yang ku lontarkan kepadanya. Tinggul menceritakan dan menjelaskan yang dia ketahui mengenai gerombolan. Sesungguhnya dia adalah pemuda yang baik, tabah, dan bekerja keras.
            Tiga bulan lamanya, Tinggul sudah aku dan Sersan Johari anggap seperti pegawai dan bawahan kami. Tidak ada keraguan di hatiku untuk tidak percaya . Aku harap si Tinggul dapat menjadi pegawai dan bawahanku yang tetap. Tapi, kebaikannya padaku tidak akan mengubah pendirian Komandon Bagian I Resimen untuk membunuh para tawanan dan gerombolan secara hidup-hidup, tak terkecuali Si Tinggul. Si Tinggul telah tergeletak tak berdaya di dalam lubang dengan berlumpuran darah.

9.      Kata mutiara
Jangan melihat seseorang hanya dari sisi fisik luarnya saja. Akan tetapi, lihatlah juga seseorang dari sisi dalam hatinya.