Selasa, 27 Agustus 2013

Cintaku Bersemi Kembali

            Pagi yang cerah. Aku bergegas ke sekolah dengan mengayuh sepeda biruku. Aku duduk di bangku kelas IX SMP N 4 Kebumen. Seperti hari-hari sebelumnya, aku lewatkan hari-hari gembiraku bersama teman-teman dan keluarga. Selain parasku yang cantik nan elok, aku juga terkenal sebagai sang juara kelas. Di dalam benakku, aku bangga pada diriku sendiri.
“Sungguh, akulah orang yang paling bahagia di dunia ini”.
            Namun, kebahagiaan itu lenyap seketika aku mengidap suatu penyakit aneh. Tak ada satu pun dokter yang mampu menyembuhkanku. Kali ini orang tuaku mendatangkan seorang kakek yang dikenal di desa tempat aku tinggal sebagai kyai sekaligus orang pintar. Kakek itu perlahan-lahan memperhatikan aku dan kemudian mengusapkan cairan berbau sangat harum ke leherku.
“Nak, apa yang kamu inginkan?”
Aku hanya terdiam, mengabaikan pertanyaan kakek tua itu. Memang, aku sering melamun dan lebih suka menyendiri sejak menderita penyakit itu.
“Nak, apapun yang kamu inginkan pasti dapat tercapai melalui usaha. Akan tetapi, jangan bermimpi terlalu tinggi yang melebihi batas kemampuanmu karena dapat merusak iman yang telah kamu bangun selama ini”.
Kakek kembali berbicara, tetapi tanpa sadar aku tetap mematung tanpa bergerak sedikit pun. Ayah menyuruhku untuk masuk ke kamar. Di ruang tamu, aku melihat kakek tua itu berbicara kepada kedua orang tuaku. Entah apa yang kakek itu bicarakan, tetapi ibuku menangis karenanya. Sebenarnya, aku pun bertanya-tanya pada diriku sendiri. “Penyakit apa yang sebenarnya ada di dalam tubuhku ini? Kenapa aku selalu dihantui rasa takut dan rasa bimbang? Sampai kapan aku harus menghabiskan hari-hariku dengan deraian air mata? Tuhan, tolonglah aku...!”
            Pada keesokan harinya sangat berbeda dengan hari-hariku sebelumnya. Semua terlihat pucat, layu, dan tak berseri. Beginilah hari-hari yang aku jalani semenjak sakit. Teman-teman dan guru-guruku telah mengetahui aku sedang sakit, tetapi mereka tidak memasang muka kasihan kepadaku. Sebaliknya, mereka menghiburku dengan memberikan senyum terhangat mereka. Entah setan apa yang ada pada diriku, aku tak pernah berbicara sepatah kata pun, bahkan aku tak pernah membalas senyum hangat mereka.
Suatu ketika, salah satu guruku datang menghampiri keberadaanku. “Ass.....Assalammu’alaikum, Nak....Bapak boleh tanya? Nak, kenapa kamu semakin hari semakin kurus dan badanmu semakin kering? Apa kamu kurang makan atau kurang vitamin? Sayang, kamu ada masalah? Katakan sama Bapak, mungkin Bapak bisa bantu?
Ya sudah Nak, kalau kamu butuh teman untuk bercerita, ceritakanlah pada Bapak. Jangan sungkan-sungkan ya, Nak?”
Seperti biasanya, tak ada satu jawaban pun yang keluar dari mulutku. Setiap orang yang bertanya kepadaku pastilah menuai kehampaan dan kekecewaan.
                                               
            Hari demi hari berlalu seiring dengan semakin menjadinya kegilaanku. Aku mulai tak dapat mengontrol diriku sendiri. Aku sangat mudah marah dan emosional. Semua kyai dan paranormal telah didatangkan untuk mengobatiku, tetapi hasilnya tetap nol, bahkan aku semakin terpuruk dalam penyakitku itu. Orang-orang yang berada di sekitarku menganggap aku telah gila. Walau mereka tak mengatakannya langsung padaku, tetapi bisik-bisik mereka terdengar jelas di kedua telingaku dan kedua orang tuaku. Jiwaku semakin berguncang, hatiku semakin memberontak. Ibuku pun menangis ketika mendengar caci makian dari tetangga-tetanggaku. Akan tetapi, ibuku selalu membelaku meski dengan deraian air matanya.
            Saat itu pula, kegilaanku memuncak. Aku lepas kendali, semua yang aku lakukan di bawah kesadaranku. Aku teriak sekeras-kerasnya! Aku banting semua benda yang ada di sekitarku, dan mataku memerah. Aku bagaikan singa liar kesurupan. Meskipun begitu, aku tetap meneteskan air mata yang tak bisa kutahan lagi.
“Nak..., berhenti...!!! Berhenti, Nak...!!! Ibu mohon, berhentilah, Nak? Istighfar...!!! Kembalilah pada-Nya...!!! Ingatlah Allah...!!!”
Seketika itu, aku terdiam dengan air mata yang terus berjatuhan dari kelopak mataku. Tak lama kemudian, aku berlari menuju kamarku dan kemudian disusul kedua orang tuaku. Akan tetapi, aku  mengusir mereka dari kamarku.
“Pergi...!!! Pergi...!!! Aku tak ingin melihat kalian berdua. Aku ingin sendiri...!!! Pergi...!!!”
Mereka keluar dari kamarku masih dengan uraian air mata. Tanpa peduli, aku tutup pintu kamarku sekeras-kerasnya.
“Braakkkk....!!!”
Setelah satu jam aku menangis di kamar, emosiku kembali meningkat. Di luar kesadaranku, aku kembali berteriak.
“Persetan kalian...!!! Kenapa kalian menggangguku? Kenapa kalian dengan mudahnya hancurkan kehidupanku? Apa yang kalian inginkan dariku? Apa? Katakan...!!!”
            Ayah dan ibu segera mendobrak pintu kamarku dan berusaha mendekapku. Aku berusaha menolak dekapan mereka, tetapi raga ini tak kuasa menolak kehangatan yang telah lama tak kurasakan.
“Ibu, aku gak gila.....! Aku gak gila, Yah...!”
“Iya, Nak. Kamu gak gila kok, kamu hanya sakit dan sebentar lagi kamu pasti akan sembuh. Bersabarlah, Nak!”.
Ayah dengan ucapannya yang lembut menenangkanku. Akupun merasa tenang berada di antara mereka. Api yang membara di hatiku padam seketika itu juga.

            Suatu hari, datanglah seorang lelaki paruh baya ke rumahku sewaktu aku sedang berada di pangkuan ibuku. Lelaki yang tak dikenal itu berusaha untuk memasuki rumahku dan menemui ayahku.
“Assalammu’alaikum...”
“Wa’alaikumsalam warahmatullahhh...”
“Saya Imron, Pak. Saya dari desa sebelah. Saya dengar putri Bapak sedang sakit. Apa benar, Pak?”
“Iya, benar”.
“Boleh saya melihat putri Bapak?”
“Tentu, silakan masuk....!”
“Terima kasih”.
            Ayah memanggilku untuk menemui tamu yang tak diundang itu. Dengan langkah gontai aku menemuinya. Akan tetapi lelaki paruh baya itu tak memandangku, malah dia memejamkan matanya dan ia seperti merasakan energi yang sangat kuat datang mendekatinya. Ayahku pun bingung pada sikap lelaki itu.
“Anda tidak apa-apa, Tuan?
“Ohh..., tidak apa-apa. Maafkan sikap saya”.
“Syukurlah kalau begitu. Kalau boleh tahu, apa tujuan Anda datang kemari?”
“Maaf, Pak. Tujuan saya datang kemari karena seruan dari Allah SWT. Saya sebagai perantara ingin mencoba untuk mengembalikan putri Bapak kembali sehat seperti kondisi semula”.
“Subhannallohh...., Terima kasih, mohon bantuan Anda!”
            Allah telah mendengar doa kedua orang tuaku dan Dia telah mengirimkanku seseorang yang dapat mengobatiku melalui izin-Nya. Selama masa pengobatan, aku berkenalan dengan putri dari lelaki paruh baya itu yang bernama Azizah. Azizah adalah seorang muslimah yang sangat baik hati. Selain wajahnya yang cantik, tutur katanya pun sangat lembut. Dia selalu memakai baju yang panjang dan jilbab yang selalu menutupi dadanya. Kepribadian yang sangat berbeda denganku. Jarang-jarang aku mengenakan jilbab, memakai baju panjang pun dapat dihitung dengan jari tangan kiriku saja. Aku bersyukur mengenalnya. Melalui dirinyalah aku mendapatkan cahaya-Nya kembali. Cahaya yang menerangi kegelapan jiwaku. Aku mulai belajar mengenakan baju panjang dan jilbab yang terurai menutupi dadaku. Aku juga mulai belajar mengaji dengannya. Aku tunaikan segala kewajibanku kepada-Nya. Sungguh, aku merasakan adanya perubahan yang sangat jauh berbeda dari keadaanku sebelumnya. Hidupku lebih berwarna, hari-hariku lebih berarti. Aku temukan cinta yang telah lama aku tinggalkan. Cintaku kepada-Nya tak akan aku lepaskan lagi. Akan tetapi, aku menyesal selama ini aku telah jauh dari-Nya dan telah lama aku melupakan-Nya. Belum lagi, semua sikap dan perkataan kasarku yang aku lontarkan kepada orang tuaku.
“Ya Allah, seberapakah besar dosaku pada-Mu? Dapatkah aku menghapus dosa-dosaku dengan sisa hidupku ini?”
            Hari ke hari kondisiku semakin baik. Sudah seminggu aku meninggalkan sekolahku. Kini aku akan bersekolah kembali. Tanpa aku sadari prestasiku turun drastis sewaktu sakit. Dengan penampilan baruku ini, aku buka lembaran putih hidupku yang baru. Aku kubur dalam-dalam kehidupan suramku bersama semua penderitaanku. Aku awali kehidupan baruku ini dengan bacaan Basmallah, semoga saja kehidupanku akan lebih cerah dengan selalu berada di sisi-Nya. Aamiin.....
“Bismillahirrahmanirrakhim......”


***SELESAI***