11 Agustus 1990
“Dokter, tolong selamatkan istri dan
bayiku.”
“Tenang, Pak! Kami akan berusaha
semaksimal mungkin. Bapak berdoa saja.”
Waktu itu, hari kelahiran sang bayi
mungil nan jelita. Hari pertama ia menatap keindahan dunia dan kehangatan
sapaan mentari pagi. Tangisan kecilnya menggembirakan hati semua orang. Tingkah
lucunya mengundang gelak tawa yang tiada henti. Lesung pipi merahnya menambah
keelokan paras wajah yang ia miliki. Sungguh, hari yang penuh suka cita akan
kehadirannya di dunia ini. Ia bernama Eliza.
~*~
11 Agustus 1999
Detik
demi detik bergulir begitu saja. Eliza kecil tumbuh menjadi Eliza berusia sembilan
tahun. Baik hati dan sikap sopan adalah kepribadian yang melekat pada diri Eliza. Ya, ia dididik dengan baik oleh kedua orang
tua yang sangat mencintai dan menyayanginya. Selain kepribadiannya yang
menarik, ia juga memiliki kebiasaan yang unik. Ia senang menerawang untuk
menebak bentuk awan yang ia lihat bersama ayahnya. Bagi Eliza, kedua orang tuanya
adalah kado teristimewa yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.
Setiap hari Eliza selalu memanjakan
waktunya untuk belajar. Ia duduk di bangku kelas tiga SDN 1 Pelita. Eliza tak
pernah bolos sekolah. Jangankan bolos, absen sekalipun tak pernah. Jadi, tak
heran jika ia dijuluki anak terajin di sekolahnya. Eliza juga jago dalam
berhitung, menghafal, dan menggambar. Sering kali ia menjuarai berbagai
kompetisi. Guru-guru dan teman-teman sangat mengagumi kehebatan yang ia miliki.
Akan tetapi, itu tidak menjadikan Eliza berbangga akan dirinya. Pernah ketika
Eliza disanjung oleh seorang gurunya hingga ia menganggap dirinyalah yang
paling hebat sehingga ia tak berkawan dengan teman yang ia anggap tak terlalu pandai dari dirinya.
Ayahnya mengetahui perilaku buruk putri kecilnya. Namun, ayahnya tak marah
padanya malahan ia tersenyum pada putri kecilnya itu.
“ Peri kecil ayah, bagaimana
sekolahmu?”
“ Baik, Yah.”
“ Bagaimana teman-temanmu?”
“ Mereka semua baik kok, Yah.”
“ Benarkah? Kalu begitu, peri kecil
ayah juga sama baiknya dengan mereka? Kau tahu bagaiman bebuat baik dengan
teman? Tidak mendiskriminasikan teman, tetap bergaul dengan siapa saja, dan tak
boleh angkuh. Kau telah melakukannya? Jadilah anak yang baik.”
Sejak saat itu pula Eliza mulai
mengubah perilaku buruknya. Ia menaati semua pinta ayahnya. Teman-teman pun
mulai menyukai dirinya yang ramah. Dengan itu, ia merasa lebih baik. Apabila
ada guru memujinya dan hatinya mulai menari-nari kian kemari di balik awan, ia
selalu mengingat akan pesan dari ayahnya. Sekarang tak ada lagi Eliza yang
dibenci, yang ada hanya Eliza yang disayang. Begitulah, secuplik kisah Eliza
dari banyaknya kisah yang ia alami dalam hidupnya.
~*~
11 Agustus 2001
Tepat diusianya yang ke 11 tahun.
Ulang tahun Eliza kali ini sangat berbeda dari biasanya. Suasana meriah yang
selalu menghiasi tiap kali hari ulang tahunnya, kini telah menjadi sebatas
angan-angan. Hanya ada kesepian di sepanjang tepi hingga muara. Kue ulang tahun
sebagai lambang bertambahnya usia pun tak akan ada lagi. Senyum manis yang
tertoreh dari ayah, bunda tercinta dan sahabat-sahabatnya kini hanya tersisa
dalam ingatan masa lalu yang akan terkubur dalam memori kecilnya. Tak ada lagi
perayaan, tak ada lagi kue ulang tahun, tak ada lagi senyuman, tak ada lagi
canda, tak ada lagi tawa, dan tak ada lagi ucapan, “Selamat ulang tahun.”
“ Bunda, bersabarlah sebentar! Allah
sedang menguji kita.”
“ Apa? Sabar? Sampai kapan, Yah?
Sampai kapan ujian ini akan selesai? Bunda sudah tak tahan lagi, bunda ingin
kehidupan kita dulu kembali.”
Memang semenjak ayah Eliza di PHK
dari tempat dimana ayahnya bekerja dan toko konveksi milik bunda ludes ditelan
jago merah, mereka selalu bertengkar. Pertengkaran dengan suara keras yang
tiada batas. Telah menjadi makanan pokok Eliza tiap hari. Kepolosannya tak
dapat mencerna pertengkaran hebat kedua orang tuanya. Kecerdasannya baru
sebatas menyadari dan memahami bahwa kedua orang tuanya sedang berbicara dengan suara yang memecahkan
gendang telinganya, melengking. Kerap kali kedatangan Eliza di tengah-tengah
pertengkaran kedua orang tuanya menjadi peredam amarah di antara keduanya.
~*~
21 Desember
2003
“ Ayah, bunda ada di mana?”
“
Bunda sedang berkunjung ke rumah saudara, Nak!”
Ketika
matahari tak dapat memancarkan sinarnya. Ketika kegelapan menyelimuti kerak
bumi. Di saat semua manusia terlelap. Bunda Eliza pergi meninggalkan Ayah dan
Eliza. Ia tak tahan akan keadaannya yang sengsara. Ia ingin merantau di luar
sana. Mencari kesenangan yang sempat hilang dari genggamannya. Kurang lebih dua
tahun bunda Eliza telah pergi tanpa mengirimkan sepucuk surat kabar tentang
dirinya. Ayah khawatir akan keadaan
bunda yang telah lama pergi tanpa seizin darinya. Ia pun tak tahu ke mana bunda
pergi. Ayah hanya berdoa kepada Dzat Yang Maha Sempurna untuk keselamatan bunda
dan berharap bunda akan kembali ke sisinya. Itulah yang hanya dapat ia lakukan.
~*~
11 Agustus 2005
“ Happy Birthday, Sayang.”
“ Terima kasih, Ayah. Emm.., apakah
bunda akan pulang hari ini?”
Kali ini ayah tak menjawab
pertanyaan Eliza seperti yang ayah jawab tiap kali pertanyaan yang sama
dilontarkan Eliza. Tiba-tiba pelukan hangat mencekram tubuh gadis mungil itu.
“Ayah, mengapa bunda tak pernah
pulang? Apakah Eliza nakal? Apakah bunda tak sayang lagi sama ayah dan Eliza?”
Mendengar celotehan polos Eliza,
seketika tetesan air jatuh dari kedua mata ayah membasahi pipi merah Eliza.
Ayah teringat akan kabar burung yang menghampiri dirinya. Kabar itu sangat
menghancurkan harapan dan impiannya.
“ Ayah, mengapa ayah menangis?”
“ Tak apa, Sayang. Sekarang
tidurlah! Sudah larut malam.”
~*~
“ Ayah, itu seperti Gajah.”
“ Kalau yang itu seperti Pulau
Jawa.”
“ Awan itu.., seperti bunda. Ayah,
benarkah bunda pergi dan tak kembali lagi pada kita?
“ Bunda pasti kembali, Nak.”
Sekarang pemikiran Eliza mulai mampu
menjangkau tentang kondisi yang terjadi terhadap keluarganya. Ia mulai mengerti
akan sebab mengapa kekacauan itu terjadi. Eliza pun tahu kerap kali ayahnya tak
pernah berkata jujur saat Eliza bertanya tentang bunda. Ayah selalu menutupi
apa yang terjadi. Meskipun begitu, Eliza tak pernah marah pada ayah karena
semua kebohongan yang ayah lakukan itu agar Eliza tak bersedih dan tetap
menyayangi ayah, terutama bunda. Akan tetapi, Eliza tak mengerti mengapa bunda
pergi tinggalkan Ayah dan Eliza.
“ Bunda, kau ada di mana? Suami dan
anakmu mencarimu. Tiadakah kau rindu pada kami? Rindu dengan rumah kita? Bunda,
kami selalu menanti kehadiran bunda. Cepat pulang, Bunda!”
Di sepertiga malam, dalam
kesendirian, di tengah kesunyian. Di situlah keheningan malam, waktu yang
paling tepat untuk mengadu kepada sang Khalik, Pencipta semesta. Deretan doa
ayah ajukan kepada-Nya hanya untuk satu harapan.
“ Tuhan, mengapa seperti ini?
Keluarga kecilku yang damai dulu kini berada di ambang kehancuran. Ya Rabb,
benarkah istriku meninggalkanku karena keterbatasan kemampuanku dalam
membahagiakannya? Jika itu kebenarannya, maafkanlah aku. Ya Allah, jika di sana
ia mendapatkan kebahagiaan yang tak ia dapatkan dari diri ini, aku akan ikhlas.
Namun, kembalikan ia ke sisiku jika ia tak bahagia. Izinkanlah aku untuk
berusaha membahagiakannya sekali lagi.”
~*~
Sang surya mulai menampakkan
kehebatannya menerangi jagad raya. Ayam-ayam jago beradu dengan kokokkannya
yang unik, burung-burung bernyanyi merdu di atas ranting, dan kupu-kupu
menari-nari gembira kian kemari. Alangkah damai suasana di pagi hari. Namun, tiba-tiba
suasana berubah mencekam. Eliza datang tergesa-gesa menghampiri ayahnya.
“ Ayah, benarkah kabar burung itu?”
“ Kau kenapa, Nak? Kabar burung
apa?”
“ Kabar kalau bunda menikah lagi?”
“ Em.., maafkan ayah, bunda memang
telah menikah lagi dengan seorang pria yang dapat membahagiakannya, bukan
seperti ayah. Maafkan ayah...”
Seketika pandangan Eliza kabur,
tubuhnya lunglai, langkahnya gontai, hatinya berontak, jiwanya berantakan. Ia
terkejut akan kabar yang baru saja datang itu.
“ Bunda, empat tahun sudah kau
pergi, tak heran jika kau melupakan kami. Teruskanlah! Teruskan saja kau begitu,
tak usah kau kembali lagi. Bunda, kau wanita terjahat yang pernah kutemui.
Aku benci bunda!!! Aku berjanji, tak
akan memanggilmu dengan sebutan bunda, terlalu terhormat bagimu!”
Sejak kejadian itu, Eliza menjadi
pendiam dan nakal. Ia tak pernah bergaul dengan kawan-kawannya lagi hingga
usianya kini mencapai 17 tahun. Ia sering bolos dari sekolah dan ia juga telah
meninggalkan kebiasaan uniknya. Memang, kabar itu menghancurkan hatinya bahkan
mengguncang jiwanya. Meskipun begitu, ia sangat menyayangi ayahnya, tetapi tak
jarang Eliza tak patuh pada ayahnya. Keadaan seperti ini membuat ayah semakin
khawatir akan anaknya. ia selalu berusaha menghibur gadis kecilnya yang telah
dewasa. Alhasil, nol. Setiap kali ayah mencoba menghibur Eliza, Eliza selalu
menjauh darinya. Sepertinya, tersimpan rasa kecewa yang mendalam dalam hatinya
dan amarah yang merasuk dalam jiwanya.
~*~
Di waktu siang menjelang sore,
sesosok wanita yang tak asing baginya datang mendekatinya. Mata Eliza meloncat,
kaki bergetar, jantung berdetak kencang saat ia mengetahui sosok wanita itu
ialah Bunda. Setelah menyadarinya, Eliza segera melangkahkan kaki untuk menjauh
dari wanita itu. Akan tetapi, ia terlambat.
“ Eliza,...”
“ Mm.., Anda siapa?”
“ Kau tak ingat pada Bunda? Kau
Eliza, bukan?
“ Mungkin Anda salah orang.”
“ Tidak, bunda tak mungkin salah.
Kau Eliza, anakku?”
“ Kau bukan bundaku, bundaku telah
meninggal sembilan tahun lalu sejak ia pergi dari rumah.”
Dalam setiap langkahnya yang kaku
menghadapi kenyataan yang terjadi, ia pergi meninggalkan bundanya yang terdiam dalam
deraian air mata. Eliza telah bertekad untuk tak mengakui bundanya. Meskipun,
berat untuk dilakukan. Ia tetap harus melakukannya.
“ Tuhan, mengapa seperti ini? Di
saat aku berharap ia kembali, ia tak kunjung datang. Di saat aku berharap ia
tak kembali, ia muncul. Apa yang harus kulakukan, Tuhan?”
Pagi hari berikutnya, sosok wanita
itu muncul tepat di depan rumah Eliza. Ayah terkejut melihat sosok wanita kurus
itu. Sesosok wanita yang sangat ia kenal sebelumnya.
“ Bunda, Kau kah itu?”
“ Kau bukan bunda. Sudah aku
katakan, bundaku telah meninggal. Mengapa Anda kemari?”
“ Maafkan bunda. Bunda bersalah
telah meninggalkan kalian. Bunda menyesal.”
“ Menyesal? Bukankah sekarang Anda
bahagia bersama pria yang lebih hebat, lebih
kaya dibanding ayah?”
“ Maafkan bunda, bunda memang sangat
naif dan serakah. Kini, suamiku ada di dalam bui. Ia koruptor. Maafkan bunda,
bunda memang tak pantas menjadi orang tuamu.”
“ Syukurlah, jika Anda paham.
Sekarang, pergilah!”
Wuishhhh...BRUK!!!
Spontan
perhatian Ayah dan Eliza menuju jalan raya. Mata mereka menembus jendela.
Seorang wanita kurus tertabrak mobil pukul 07.11 WIB.
“
Tuhan, mengapa seperti ini?”
~selesai~