“Sungguh,
akulah orang yang paling bahagia di dunia ini”.
Namun, kebahagiaan itu lenyap
seketika aku mengidap suatu penyakit aneh. Tak ada satu pun dokter yang mampu
menyembuhkanku. Kali ini orang tuaku mendatangkan seorang kakek yang dikenal di
desa tempat aku tinggal sebagai kyai sekaligus orang pintar. Kakek itu
perlahan-lahan memperhatikan aku dan kemudian mengusapkan cairan berbau sangat
harum ke leherku.
“Nak,
apa yang kamu inginkan?”
Aku
hanya terdiam, mengabaikan pertanyaan kakek tua itu. Memang, aku sering melamun
dan lebih suka menyendiri sejak menderita penyakit itu.
“Nak,
apapun yang kamu inginkan pasti dapat tercapai melalui usaha. Akan tetapi, jangan
bermimpi terlalu tinggi yang melebihi batas kemampuanmu karena dapat merusak
iman yang telah kamu bangun selama ini”.
Kakek
kembali berbicara, tetapi tanpa sadar aku tetap mematung tanpa bergerak sedikit
pun. Ayah menyuruhku untuk masuk ke kamar. Di ruang tamu, aku melihat kakek tua
itu berbicara kepada kedua orang tuaku. Entah apa yang kakek itu bicarakan,
tetapi ibuku menangis karenanya. Sebenarnya, aku pun bertanya-tanya pada diriku
sendiri. “Penyakit apa yang sebenarnya ada di dalam tubuhku ini? Kenapa aku
selalu dihantui rasa takut dan rasa bimbang? Sampai kapan aku harus
menghabiskan hari-hariku dengan deraian air mata? Tuhan, tolonglah aku...!”
Pada keesokan harinya sangat berbeda
dengan hari-hariku sebelumnya. Semua terlihat pucat, layu, dan tak berseri. Beginilah
hari-hari yang aku jalani semenjak sakit. Teman-teman dan guru-guruku telah
mengetahui aku sedang sakit, tetapi mereka tidak memasang muka kasihan kepadaku.
Sebaliknya, mereka menghiburku dengan memberikan senyum terhangat mereka. Entah
setan apa yang ada pada diriku, aku tak pernah berbicara sepatah kata pun,
bahkan aku tak pernah membalas senyum hangat mereka.
Suatu
ketika, salah satu guruku datang menghampiri keberadaanku. “Ass.....Assalammu’alaikum,
Nak....Bapak boleh tanya? Nak, kenapa kamu semakin hari semakin kurus dan
badanmu semakin kering? Apa kamu kurang makan atau kurang vitamin? Sayang, kamu
ada masalah? Katakan sama Bapak, mungkin Bapak bisa bantu?
Ya sudah Nak,
kalau kamu butuh teman untuk bercerita, ceritakanlah pada Bapak. Jangan
sungkan-sungkan ya, Nak?”
Seperti
biasanya, tak ada satu jawaban pun yang keluar dari mulutku. Setiap orang yang
bertanya kepadaku pastilah menuai kehampaan dan kekecewaan.
Hari demi hari berlalu seiring dengan
semakin menjadinya kegilaanku. Aku mulai tak dapat mengontrol diriku sendiri. Aku
sangat mudah marah dan emosional. Semua kyai dan paranormal telah didatangkan
untuk mengobatiku, tetapi hasilnya tetap nol, bahkan aku semakin terpuruk dalam
penyakitku itu. Orang-orang yang berada di sekitarku menganggap aku telah gila.
Walau mereka tak mengatakannya langsung padaku, tetapi bisik-bisik mereka terdengar
jelas di kedua telingaku dan kedua orang tuaku. Jiwaku semakin berguncang,
hatiku semakin memberontak. Ibuku pun menangis ketika mendengar caci makian
dari tetangga-tetanggaku. Akan tetapi, ibuku selalu membelaku meski dengan
deraian air matanya.
Saat itu pula, kegilaanku memuncak. Aku
lepas kendali, semua yang aku lakukan di bawah kesadaranku. Aku teriak
sekeras-kerasnya! Aku banting semua benda yang ada di sekitarku, dan mataku
memerah. Aku bagaikan singa liar kesurupan. Meskipun begitu, aku tetap
meneteskan air mata yang tak bisa kutahan lagi.
“Nak...,
berhenti...!!! Berhenti, Nak...!!! Ibu mohon, berhentilah, Nak? Istighfar...!!!
Kembalilah pada-Nya...!!! Ingatlah Allah...!!!”
Seketika
itu, aku terdiam dengan air mata yang terus berjatuhan dari kelopak mataku. Tak
lama kemudian, aku berlari menuju kamarku dan kemudian disusul kedua orang tuaku.
Akan tetapi, aku mengusir mereka dari
kamarku.
“Pergi...!!!
Pergi...!!! Aku tak ingin melihat kalian berdua. Aku ingin sendiri...!!!
Pergi...!!!”
Mereka
keluar dari kamarku masih dengan uraian air mata. Tanpa peduli, aku tutup pintu
kamarku sekeras-kerasnya.
“Braakkkk....!!!”
Setelah satu
jam aku menangis di kamar, emosiku kembali meningkat. Di luar kesadaranku, aku
kembali berteriak.
“Persetan
kalian...!!! Kenapa kalian menggangguku? Kenapa kalian dengan mudahnya
hancurkan kehidupanku? Apa yang kalian inginkan dariku? Apa? Katakan...!!!”
Ayah dan ibu segera mendobrak pintu
kamarku dan berusaha mendekapku. Aku berusaha menolak dekapan mereka, tetapi
raga ini tak kuasa menolak kehangatan yang telah lama tak kurasakan.
“Ibu,
aku gak gila.....! Aku gak gila, Yah...!”
“Iya,
Nak. Kamu gak gila kok, kamu hanya sakit dan sebentar lagi kamu pasti akan
sembuh. Bersabarlah, Nak!”.
Ayah dengan
ucapannya yang lembut menenangkanku. Akupun merasa tenang berada di antara
mereka. Api yang membara di hatiku padam seketika itu juga.
Suatu hari, datanglah seorang lelaki
paruh baya ke rumahku sewaktu aku sedang berada di pangkuan ibuku. Lelaki yang
tak dikenal itu berusaha untuk memasuki rumahku dan menemui ayahku.
“Assalammu’alaikum...”
“Wa’alaikumsalam
warahmatullahhh...”
“Saya
Imron, Pak. Saya dari desa sebelah. Saya dengar putri Bapak sedang sakit. Apa
benar, Pak?”
“Iya,
benar”.
“Boleh
saya melihat putri Bapak?”
“Tentu,
silakan masuk....!”
“Terima
kasih”.
Ayah memanggilku untuk menemui tamu
yang tak diundang itu. Dengan langkah gontai aku menemuinya. Akan tetapi lelaki
paruh baya itu tak memandangku, malah dia memejamkan matanya dan ia seperti
merasakan energi yang sangat kuat datang mendekatinya. Ayahku pun bingung pada
sikap lelaki itu.
“Anda
tidak apa-apa, Tuan?
“Ohh...,
tidak apa-apa. Maafkan sikap saya”.
“Syukurlah
kalau begitu. Kalau boleh tahu, apa tujuan Anda datang kemari?”
“Maaf,
Pak. Tujuan saya datang kemari karena seruan dari Allah SWT. Saya sebagai
perantara ingin mencoba untuk mengembalikan putri Bapak kembali sehat seperti
kondisi semula”.
“Subhannallohh....,
Terima kasih, mohon bantuan Anda!”
Allah telah mendengar doa kedua
orang tuaku dan Dia telah mengirimkanku seseorang yang dapat mengobatiku
melalui izin-Nya. Selama masa pengobatan, aku berkenalan dengan putri dari
lelaki paruh baya itu yang bernama Azizah. Azizah adalah seorang muslimah yang
sangat baik hati. Selain wajahnya yang cantik, tutur katanya pun sangat lembut.
Dia selalu memakai baju yang panjang dan jilbab yang selalu menutupi dadanya. Kepribadian
yang sangat berbeda denganku. Jarang-jarang aku mengenakan jilbab, memakai baju
panjang pun dapat dihitung dengan jari tangan kiriku saja. Aku bersyukur
mengenalnya. Melalui dirinyalah aku mendapatkan cahaya-Nya kembali. Cahaya yang
menerangi kegelapan jiwaku. Aku mulai belajar mengenakan baju panjang dan
jilbab yang terurai menutupi dadaku. Aku juga mulai belajar mengaji dengannya. Aku
tunaikan segala kewajibanku kepada-Nya. Sungguh, aku merasakan adanya perubahan
yang sangat jauh berbeda dari keadaanku sebelumnya. Hidupku lebih berwarna, hari-hariku
lebih berarti. Aku temukan cinta yang telah lama aku tinggalkan. Cintaku kepada-Nya
tak akan aku lepaskan lagi. Akan tetapi, aku menyesal selama ini aku telah jauh
dari-Nya dan telah lama aku melupakan-Nya. Belum lagi, semua sikap dan
perkataan kasarku yang aku lontarkan kepada orang tuaku.
“Ya
Allah, seberapakah besar dosaku pada-Mu? Dapatkah aku menghapus dosa-dosaku
dengan sisa hidupku ini?”
Hari ke hari kondisiku semakin baik.
Sudah seminggu aku meninggalkan sekolahku. Kini aku akan bersekolah kembali. Tanpa
aku sadari prestasiku turun drastis sewaktu sakit. Dengan penampilan baruku ini,
aku buka lembaran putih hidupku yang baru. Aku kubur dalam-dalam kehidupan
suramku bersama semua penderitaanku. Aku awali kehidupan baruku ini dengan
bacaan Basmallah, semoga saja kehidupanku akan lebih cerah dengan selalu
berada di sisi-Nya. Aamiin.....
“Bismillahirrahmanirrakhim......”
***SELESAI***