Selasa, 12 November 2013

Tuhan, Mengapa Seperti Ini

11 Agustus 1990

            “Dokter, tolong selamatkan istri dan bayiku.”
            “Tenang, Pak! Kami akan berusaha semaksimal mungkin. Bapak berdoa saja.”
            Waktu itu, hari kelahiran sang bayi mungil nan jelita. Hari pertama ia menatap keindahan dunia dan kehangatan sapaan mentari pagi. Tangisan kecilnya menggembirakan hati semua orang. Tingkah lucunya mengundang gelak tawa yang tiada henti. Lesung pipi merahnya menambah keelokan paras wajah yang ia miliki. Sungguh, hari yang penuh suka cita akan kehadirannya di dunia ini. Ia bernama Eliza.
~*~     
11 Agustus 1999
Detik demi detik bergulir begitu saja. Eliza kecil tumbuh menjadi Eliza berusia sembilan tahun. Baik hati dan sikap sopan adalah kepribadian yang melekat pada diri  Eliza. Ya, ia dididik dengan baik oleh kedua orang tua yang sangat mencintai dan menyayanginya. Selain kepribadiannya yang menarik, ia juga memiliki kebiasaan yang unik. Ia senang menerawang untuk menebak bentuk awan yang ia lihat bersama ayahnya. Bagi Eliza, kedua orang tuanya adalah kado teristimewa yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.
            Setiap hari Eliza selalu memanjakan waktunya untuk belajar. Ia duduk di bangku kelas tiga SDN 1 Pelita. Eliza tak pernah bolos sekolah. Jangankan bolos, absen sekalipun tak pernah. Jadi, tak heran jika ia dijuluki anak terajin di sekolahnya. Eliza juga jago dalam berhitung, menghafal, dan menggambar. Sering kali ia menjuarai berbagai kompetisi. Guru-guru dan teman-teman sangat mengagumi kehebatan yang ia miliki. Akan tetapi, itu tidak menjadikan Eliza berbangga akan dirinya. Pernah ketika Eliza disanjung oleh seorang gurunya hingga ia menganggap dirinyalah yang paling hebat sehingga ia tak berkawan dengan teman yang ia  anggap tak terlalu pandai dari dirinya. Ayahnya mengetahui perilaku buruk putri kecilnya. Namun, ayahnya tak marah padanya malahan ia tersenyum pada putri kecilnya itu.
            “ Peri kecil ayah, bagaimana sekolahmu?”
            “ Baik, Yah.”
            “ Bagaimana teman-temanmu?”
            “ Mereka semua baik kok, Yah.”
            “ Benarkah? Kalu begitu, peri kecil ayah juga sama baiknya dengan mereka? Kau tahu bagaiman bebuat baik dengan teman? Tidak mendiskriminasikan teman, tetap bergaul dengan siapa saja, dan tak boleh angkuh. Kau telah melakukannya? Jadilah anak yang baik.”
            Sejak saat itu pula Eliza mulai mengubah perilaku buruknya. Ia menaati semua pinta ayahnya. Teman-teman pun mulai menyukai dirinya yang ramah. Dengan itu, ia merasa lebih baik. Apabila ada guru memujinya dan hatinya mulai menari-nari kian kemari di balik awan, ia selalu mengingat akan pesan dari ayahnya. Sekarang tak ada lagi Eliza yang dibenci, yang ada hanya Eliza yang disayang. Begitulah, secuplik kisah Eliza dari banyaknya kisah yang ia alami dalam hidupnya.
                                                                        ~*~
11 Agustus 2001
            Tepat diusianya yang ke 11 tahun. Ulang tahun Eliza kali ini sangat berbeda dari biasanya. Suasana meriah yang selalu menghiasi tiap kali hari ulang tahunnya, kini telah menjadi sebatas angan-angan. Hanya ada kesepian di sepanjang tepi hingga muara. Kue ulang tahun sebagai lambang bertambahnya usia pun tak akan ada lagi. Senyum manis yang tertoreh dari ayah, bunda tercinta dan sahabat-sahabatnya kini hanya tersisa dalam ingatan masa lalu yang akan terkubur dalam memori kecilnya. Tak ada lagi perayaan, tak ada lagi kue ulang tahun, tak ada lagi senyuman, tak ada lagi canda, tak ada lagi tawa, dan tak ada lagi ucapan, “Selamat ulang tahun.”
            “ Bunda, bersabarlah sebentar! Allah sedang menguji kita.”
            “ Apa? Sabar? Sampai kapan, Yah? Sampai kapan ujian ini akan selesai? Bunda sudah tak tahan lagi, bunda ingin kehidupan kita dulu kembali.”
            Memang semenjak ayah Eliza di PHK dari tempat dimana ayahnya bekerja dan toko konveksi milik bunda ludes ditelan jago merah, mereka selalu bertengkar. Pertengkaran dengan suara keras yang tiada batas. Telah menjadi makanan pokok Eliza tiap hari. Kepolosannya tak dapat mencerna pertengkaran hebat kedua orang tuanya. Kecerdasannya baru sebatas menyadari dan memahami bahwa kedua orang tuanya  sedang berbicara dengan suara yang memecahkan gendang telinganya, melengking. Kerap kali kedatangan Eliza di tengah-tengah pertengkaran kedua orang tuanya menjadi peredam amarah di antara keduanya.
                                                                        ~*~
21 Desember 2003
            “ Ayah, bunda ada di mana?”
“ Bunda sedang berkunjung ke rumah saudara, Nak!”
Ketika matahari tak dapat memancarkan sinarnya. Ketika kegelapan menyelimuti kerak bumi. Di saat semua manusia terlelap. Bunda Eliza pergi meninggalkan Ayah dan Eliza. Ia tak tahan akan keadaannya yang sengsara. Ia ingin merantau di luar sana. Mencari kesenangan yang sempat hilang dari genggamannya. Kurang lebih dua tahun bunda Eliza telah pergi tanpa mengirimkan sepucuk surat kabar tentang dirinya. Ayah khawatir  akan keadaan bunda yang telah lama pergi tanpa seizin darinya. Ia pun tak tahu ke mana bunda pergi. Ayah hanya berdoa kepada Dzat Yang Maha Sempurna untuk keselamatan bunda dan berharap bunda akan kembali ke sisinya. Itulah yang hanya dapat ia lakukan.
~*~
11 Agustus 2005
            “ Happy Birthday, Sayang.”
            “ Terima kasih, Ayah. Emm.., apakah bunda akan pulang hari ini?”
            Kali ini ayah tak menjawab pertanyaan Eliza seperti yang ayah jawab tiap kali pertanyaan yang sama dilontarkan Eliza. Tiba-tiba pelukan hangat mencekram tubuh gadis mungil itu.
            “Ayah, mengapa bunda tak pernah pulang? Apakah Eliza nakal? Apakah bunda tak sayang lagi sama ayah dan Eliza?”
            Mendengar celotehan polos Eliza, seketika tetesan air jatuh dari kedua mata ayah membasahi pipi merah Eliza. Ayah teringat akan kabar burung yang menghampiri dirinya. Kabar itu sangat menghancurkan harapan dan impiannya.
            “ Ayah, mengapa ayah menangis?”
            “ Tak apa, Sayang. Sekarang tidurlah! Sudah larut malam.”
~*~
             “ Ayah, itu seperti Gajah.”
            “ Kalau yang itu seperti Pulau Jawa.”
            “ Awan itu.., seperti bunda. Ayah, benarkah bunda pergi dan tak kembali lagi pada kita?
            “ Bunda pasti kembali, Nak.”
             Sekarang pemikiran Eliza mulai mampu menjangkau tentang kondisi yang terjadi terhadap keluarganya. Ia mulai mengerti akan sebab mengapa kekacauan itu terjadi. Eliza pun tahu kerap kali ayahnya tak pernah berkata jujur saat Eliza bertanya tentang bunda. Ayah selalu menutupi apa yang terjadi. Meskipun begitu, Eliza tak pernah marah pada ayah karena semua kebohongan yang ayah lakukan itu agar Eliza tak bersedih dan tetap menyayangi ayah, terutama bunda. Akan tetapi, Eliza tak mengerti mengapa bunda pergi tinggalkan Ayah dan Eliza.
            “ Bunda, kau ada di mana? Suami dan anakmu mencarimu. Tiadakah kau rindu pada kami? Rindu dengan rumah kita? Bunda, kami selalu menanti kehadiran bunda. Cepat pulang, Bunda!”
            Di sepertiga malam, dalam kesendirian, di tengah kesunyian. Di situlah keheningan malam, waktu yang paling tepat untuk mengadu kepada sang Khalik, Pencipta semesta. Deretan doa ayah ajukan kepada-Nya hanya untuk satu harapan.
            “ Tuhan, mengapa seperti ini? Keluarga kecilku yang damai dulu kini berada di ambang kehancuran. Ya Rabb, benarkah istriku meninggalkanku karena keterbatasan kemampuanku dalam membahagiakannya? Jika itu kebenarannya, maafkanlah aku. Ya Allah, jika di sana ia mendapatkan kebahagiaan yang tak ia dapatkan dari diri ini, aku akan ikhlas. Namun, kembalikan ia ke sisiku jika ia tak bahagia. Izinkanlah aku untuk berusaha membahagiakannya sekali lagi.”
~*~
            Sang surya mulai menampakkan kehebatannya menerangi jagad raya. Ayam-ayam jago beradu dengan kokokkannya yang unik, burung-burung bernyanyi merdu di atas ranting, dan kupu-kupu menari-nari gembira kian kemari. Alangkah damai suasana di pagi hari. Namun, tiba-tiba suasana berubah mencekam. Eliza datang tergesa-gesa menghampiri ayahnya.
            “ Ayah, benarkah kabar burung itu?”
            “ Kau kenapa, Nak? Kabar burung apa?”
            “ Kabar kalau bunda menikah lagi?”
            “ Em.., maafkan ayah, bunda memang telah menikah lagi dengan seorang pria yang dapat membahagiakannya, bukan seperti ayah. Maafkan ayah...”
            Seketika pandangan Eliza kabur, tubuhnya lunglai, langkahnya gontai, hatinya berontak, jiwanya berantakan. Ia terkejut akan kabar yang baru saja datang itu.
            “ Bunda, empat tahun sudah kau pergi, tak heran jika kau melupakan kami. Teruskanlah! Teruskan saja kau begitu, tak usah kau kembali lagi. Bunda, kau wanita terjahat yang pernah kutemui. Aku  benci bunda!!! Aku berjanji, tak akan memanggilmu dengan sebutan bunda, terlalu terhormat bagimu!”
            Sejak kejadian itu, Eliza menjadi pendiam dan nakal. Ia tak pernah bergaul dengan kawan-kawannya lagi hingga usianya kini mencapai 17 tahun. Ia sering bolos dari sekolah dan ia juga telah meninggalkan kebiasaan uniknya. Memang, kabar itu menghancurkan hatinya bahkan mengguncang jiwanya. Meskipun begitu, ia sangat menyayangi ayahnya, tetapi tak jarang Eliza tak patuh pada ayahnya. Keadaan seperti ini membuat ayah semakin khawatir akan anaknya. ia selalu berusaha menghibur gadis kecilnya yang telah dewasa. Alhasil, nol. Setiap kali ayah mencoba menghibur Eliza, Eliza selalu menjauh darinya. Sepertinya, tersimpan rasa kecewa yang mendalam dalam hatinya dan amarah yang merasuk dalam jiwanya.
                                                                        ~*~
            Di waktu siang menjelang sore, sesosok wanita yang tak asing baginya datang mendekatinya. Mata Eliza meloncat, kaki bergetar, jantung berdetak kencang saat ia mengetahui sosok wanita itu ialah Bunda. Setelah menyadarinya, Eliza segera melangkahkan kaki untuk menjauh dari wanita itu. Akan tetapi, ia terlambat.
            “ Eliza,...”
            “ Mm.., Anda siapa?”
            “ Kau tak ingat pada Bunda? Kau Eliza, bukan?
            “ Mungkin Anda salah orang.”
            “ Tidak, bunda tak mungkin salah. Kau Eliza, anakku?”
            “ Kau bukan bundaku, bundaku telah meninggal sembilan tahun lalu sejak ia pergi dari rumah.”
            Dalam setiap langkahnya yang kaku menghadapi kenyataan yang terjadi, ia pergi meninggalkan bundanya yang terdiam dalam deraian air mata. Eliza telah bertekad untuk tak mengakui bundanya. Meskipun, berat untuk dilakukan. Ia tetap harus melakukannya.
            “ Tuhan, mengapa seperti ini? Di saat aku berharap ia kembali, ia tak kunjung datang. Di saat aku berharap ia tak kembali, ia muncul. Apa yang harus kulakukan, Tuhan?”
            Pagi hari berikutnya, sosok wanita itu muncul tepat di depan rumah Eliza. Ayah terkejut melihat sosok wanita kurus itu. Sesosok wanita yang sangat ia kenal sebelumnya.
            “ Bunda, Kau kah itu?”
            “ Kau bukan bunda. Sudah aku katakan, bundaku telah meninggal. Mengapa Anda kemari?”
            “ Maafkan bunda. Bunda bersalah telah meninggalkan kalian. Bunda menyesal.”
            “ Menyesal? Bukankah sekarang Anda bahagia bersama pria yang lebih hebat, lebih  kaya dibanding ayah?”
            “ Maafkan bunda, bunda memang sangat naif dan serakah. Kini, suamiku ada di dalam bui. Ia koruptor. Maafkan bunda, bunda memang tak pantas menjadi orang tuamu.”
            “ Syukurlah, jika Anda paham. Sekarang, pergilah!”

Wuishhhh...BRUK!!!
Spontan perhatian Ayah dan Eliza menuju jalan raya. Mata mereka menembus jendela. Seorang wanita kurus tertabrak mobil pukul 07.11 WIB.
“ Tuhan, mengapa seperti ini?”
~selesai~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar